Makalah Sejarah Pendidikan di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang

Pendidikan dan Sejarah tidak bisa dipisahkan seperti membahas tentang pendidikan saja atau hanya membahas sejarahnya saja. Tentunya jika kita sebagai penulis hanya memilih satu topik seperti sejarah saja maka, kita akan mengkaitkan sejarah dengan nilai pendidikannya dan apakah sejarah bisa kita jadikan tolok ukur membangun bangsa lewat pendidikan sejarah. Hal tersebut membuat kita untuk belajar sebagai aktifitas pendidikan dan menelaah tentang masa lalu agar mencapai sukses pembangunan dan sumber daya pekerti manusia luhur diperoleh negara. Oleh sebab itu walaupun dipisahkan antara pendidikan dengan sejarah atau antara sejarah dengan pendidikan mempunyai kesinambungan dan keterkaitan sehingga mencapai titik temu permasalahan yang dihadapi dengan kegiatan pendidikan sejarah.
Materi pelajaran atau kuliah jarang untuk dibahas baik siswa maupun mahasiswa. Menurut kebanyakan dari mereka sejarah pendidikan kurang begitu menarik untuk ditelaah. Kalaupun ada yang menelaah maupun melakukakan penelitian adalah siswa ataupun mahasiswa yang sedang diberi tugas oleh guru ataupun dosen mereka. Selain itu, kalangan masyarakat umum lebih sedikit lagi yang membahas dan meneliti tentang sejarah pendidikan sejarah apalagi sejarah pendidikan nasional. Bahkan, sejarahwan pun lebih tertarik dalam menelaah dan mengkaji sejarah politik, sejarah social, sejarah agraris, sejarah ekonomi, dan sebagainya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika masyarakat lebih tertarik dengan berita berbau tentang social, ekonomi, agraris dan politik karena tidak tersedianya buku sejarah pendidikan di pasaran.
Padahal dengan belajar sejarah pendidikan kita dapat mengetahui dan sudah terbukti. Kita harus menelaah sejarah sebelum merancang kehidupan masa depan maupun menjalankan kehidupan masa kini. Jika kita melakukan kesalahan pada proses belajar kita dapat melihat masa dahulu yang dikatakan sejarah. Setelah itu seluruh masyarakat dapat bahu membahu berkontribusi untuk memperbaiki kehidupan melalui pendidikan yang baik dan benar. Jadi, dengan belajar sejarah pendidikan dapat memperbaiki kehidupan yang salah dan berantakan.

1.2    Rumusan Masalah
Latar belakang yang sudah kami paparkan akan kami tarik kerangka yang menjadi rumusan masalah. Berikut adalah kerangka yang dijadikan rumusan masalah yaitu   :
1.      Bagaimanakah Pendidikan Indonesia pada Zaman Kolonial Belanda ?
2.      Bagaimanakah Pendidikan Indonesia pada Zaman Penjajahan Jepang ?
3.      Bagaimanakah Permasalahan Pendidikan Indonesisa pada Zaman Penjajahan Jepang ?
4.      Bagaimanakah Pendidikan Indonesia pada Zaman Pergerakan Kemerdekaan ?
5.      Bagaimanakah Pendidikan Indonesia pada Zaman Kemerdekaan sampai Tahun 1967 ?
6.      Bagaimanakah Permasalahan Pendidikan Indonesia pada Zaman Kemerdekaan sampai Tahun 1967.
7.      Bagaimanakah Permasalahan Pendidikan Indonesia pada Zaman Orde Baru ?
8.      Bagaimanakah Pendidikan Indonesia pada Zaman Era Reformasi ?

1.3    Pembatasan Masalah

Kerangka-kerangka masalah yang sudah kami susun menjadi rumusan masalah akan dibatasi. Berikut merupakan susunan pembatasan masalah yaitu    :
1.      Pendidikan Indonesia pada Zaman Kolonial Belanda.
2.      Pendidikan Indonesia pada Zaman Penjajahan Jepang.
3.      Permasalahan Pendidikan Indonesia pada Zaman Penjajahan Jepang.
4.      Pendidikan Indonesia pada Zaman Pergerakan Kemerdekaan.
5.      Pendidikan Indonesia pada Zaman Kemerdekaan sampai Tahun 1967.
6.      Permasalahan Pendidikan Indonesia pada Zaman Kemerdekaan sampai Tahun 1967.
7.      Permasalahan Pendidikan Indonesia pada Zaman Orde Baru.
8.      Pendidikan Indonesia pada Zaman Era Reformasi.

1.4    Tujuan Masalah
Susunan pembatasan masalah yang kami susun akan kami ambil menjadi tujuan permasalahan. Berikut merupakan susunan tujuan masalah yaitu   :
1.      Untuk mengetahui dan mengetahui pendidikan Indonesia pada zaman Kolonial Belanda.
2.      Untuk mengetahui dan memahami pendidikan Indonesia pada zaman penjajahan Jepang.
3.      Untuk mengetahui dan memahami permasalahan pendidikan Indonesia pada zaman penjajahan Jepang.
4.      Untuk mengetahui dan memahamai pendidikan Indonesia pada zaman pergerakan kemerdekaan.
5.      Untuk mengetahui dan memahami pendidikan Indonesia pada zaman kemerdekaan sampai tahun 1967.
6.      Untuk mengetahui dan memahami pendidikan Indonesia pada zaman kemerdekaan sampai tahun 1967.
7.      Untuk mengetahui dan memahami permasalahan pendidikan Indonesia pada zaman orde baru.
8.      Untuk mengetahui dan memahami pendidikan Indonesia pada zaman era reformasi.






BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pendidikan Indonesia pada Zaman Kolonial Belanda

            Perjalanan pendidikan Indonesia di zaman kolonial akan ditelusuri dari masuknya bangsa Eropa ke Asia khususnya ke Indonesia. Seorang sejarawan berkebangsaan Inggris Furnivall dalam bukunya Educational Progress in South East Asia yang menuliskan keadaan pendidikan Asia umumnya dan Indonesia khususnya sebelum bangsa Eropa menginjakan kakinya di negara itu, dikatakan bahwa waktu orang Eropa yang mula-mula sampai di timur jauh, di daerah katulistiwa mereka dapati sejumlah sekolah dan orang yang telah mengenal baca dan tulis yang ternyata lebih banyak dari pada orang Eropa ketika itu (Said,1965:44). Hal ini menggambarkan bahwa akhir abad 18 hingga awal abad 19 di Indonesia telah terjadi proses pendidikan yang dilakukan oleh para pemimpin agama khususnya Hindu dan Islam terutama di daerah kerajaan/kesultanan dan atau bekas kerajaan.
Pada permulaan abad 16 Portugis di bawah kepemimpinan Vasco de gama masuk ke Indonesia. Bangsa Portugis pada mulanya datang ke Asia khususnya Indonesia didorong oleh semangat  untuk mengembangkan agama katolik disamping berdagang. Agama dijadikan dasar utama untuk mendapat pengaruh  dibidang ekonomi  dan politik. Syarat utama untuk memperluas pengaruh agama tersebut ialah mendirikan sekolah-sekolah. Karena itu sekolah guru yang pertama ada di Indonesia adalah di Ternate didirikan oleh  Pendeta Portugis. Pulau cengkeh itu menjadi pusat peniagaan Portugis sejak tahun 1536. Di pulau-pulau lain sekitar Ternate didirikan sekolah-sekolah yang dibina oleh kaum gerejawan katolik.
Pada abad ke 17 terjadi pertempuran antara Portugis dengan Belanda. Tahun 1641 Portugis terusir dari Malaka karena saudagar-saudagar Belanda menghimpun diri dalam satu kesatuan yang disebut Kompeni, Kompeni banyak mencontoh siasaat dagang dan politik yang dijalankan oleh Portugis di Asia Tenggara ini. Agama Katolik sedikit demi sedikit ditekan dan diganti dengan agama Protestan.Cara untuk mencapai tujuan itu ialah mendirikan sekolah-sekolah pula. Sekolah Kompeni yang pertama dibangun adalah di daerah kepulauan rempah-rempah sepertiAmbon,Ternate,Bacan dan kemudian menyusul di Jakarta. Tidak ada bedanya dengan Portugis Belanda pun berusaha menanamkan pengaruhnya dibidang ekonomi dan politik dengan jalan mendirikan sekolah. Cara mengajar di sekolah-sekolah Belanda tidak berbeda dengan cara yang dilakukan oleh para pendidik Islam yang dilaksanakan di surau-surau, hanya isi pelajarannya yang berbeda. Dasar sekolah Kompeni itu ialah Kristen Protestan. Oleh karena itu, dalam perjalanannya sering berbenturan dengan rakyat setempat walaupun kompeni jugalah yang dapat memenangkannya dengan segala cara dan kelicikannya. Dalam tahun 1665 jumlah murid di Maluku sebanyak 1057 orang tetapi dalam tahun 1708 di pulau Ambon saja jumlah murid sudah terdapat 3966 orang. Jadi dalam tmpo 3 tahun di daerah Maluku menjadi hampir 3 kali lipat. Selanjutnya pada tahun 1779 di pulau Timor terdapat 539 orang murid, sedangkan di Jakarta dalam tahun itu hanya ada 630 orang, dan di daerah pesisir Jawa Timur terdapat 327 murid. Rupanya di Jawa pada umumnya sekolah Kompeni kurang disukai.
Ketika memasuki abad ke 18 daerah jajahan Kompeni makin luas,terutama di jawa, perdagangan makin besar jumlahnya dan kewajiban pun makin berat pula. Untuk itu Kompeni sangatmembutuhkan tenaga guna pengembangan usahanya dan itulah yang menjadi dorongan Kompeni untuk usahanya dan itulah yang menjadi  dorongan Kompeni untuk membuka sekolah-sekolah dan berlanjut terus hingga kompeni diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Jadi landasan dalam pengembangan system pendidikan adalah atas dasar kebutuhan tenaga kerja (said,1965:46). Hal ini dapat digambarkan salah satu peraturan sekolah yang dibuat pada tahun 1684 menetapkan tujuan pendidikan adalah “supaya murid-murid kelak sanggup dipekerjakan pada pemerintah gereja”.Hingga tahun 1846-1849 jumlah murid sebanyak 155.355 dengan jumlah guru 102 orang.
Revolusi Perancis berpengaruh pula di Indonesia , khusunya di bidang pendidikan. Dandels (1808-1811) membawa semangat revolusi itu ke Indonesia. Pendidikan yang berdasarkan agama Kristen dihapus oleh Dandels. Dalam tahun 1808 ditugaskannya kepada para bupati di Jawa untuk mendirikan sekolah-sekolah yang memberikan pendidikan  berdasarkan adat istiadat,undang-undang dan agama islam. Di Semarang didirikan sebuah sekolah Angkatan Laut disamping itu didirikan pula sekolah bidan dan sekolah ronggeng. Pelaksanaan pembaruan pendidikan itu ternyata gagal,karena tidak didukung biaya.
Tahun 1811 Inggris masuk ke Indonesia  dibawah kepemimpinan Raffles hingga tahun 1816 yang ternyata tidak mempunyai perhatian terhadap pendidikan, dan ketika Inggris menyerahkan Jawa kepada Belanda (1816) sekolah-sekolah yang didirikan Dandels sudah hamper punah. Komisaris Jenderal Belanda (1816-1818) yang melakukan timbang terima  dengan pemerintah Inggris di Jawa mengeluarkan peraturan umum tentang pendidikan di sekolah-sekolah yang ternyata pendidikan hanya untuk orang Belanda saja. Ketika Van den Bosc si Bapak  tanam paksa menjadi Komisaris Jenderal (1830-1834) anak-anak priyayi bangsa Indonesia diberi sedikit kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Hal ini dilandasi karena tanam paksa (1830-1870) yang dijalankan menghendaki sejumlah pegawai rendahan yang bisa tulis baca. Hal lain yang dilakukan oleh pemerintah Belanda adalah memberi kesempatan kepada putera-puteri Priyayi untuk magang di rumah-rumah orang Belanda, sambil menjadi pesuruh, mereka belajar bahasa Belanda, mereka tidak diberi gaji tetapi mendapat makan dan pemondokan tanpa bayaran. Apabila kemampuan mereka dianggap cukup selanjutnya akan dipekerjakan sebagai pegawai tata usaha dikantor-dikantor pamong praja. Cara ini sangat mudah karena tidak membutuhkan tenaga pendidik tertentu.
Pada tahun 1848 pemerintah Belanda menetapkan anggaran pendidikan ikaii scj urn lab 25000 rulden. Dana ini antara lain untuk mendirikan 20 buah sekolah untuk anak-anak Indonesia di beberapa Ibukota karesidenan, utamanya di pulau jawa, karena tanam paksa dijalankan di daerah itu. Namun bagaimanapun juga pendidkan tetap diutamakan bagi anak-anak Belanda. Hal ini terbukti dalam waktu yang sama Belanda telah mendirikan 30 buah Lembaga pendidikan, terutama badan-badan agama Kristen, zeinding maupun misi-misi. Badan-badan itu bertugas untuk menyebarkan agama Kristen Protestan,maupun Katolik dengan jalan pendidikan. Dalam tahun 1892 ada dua macam sekolah rendah,yaitu sekolah kelas dua yang diperuntukan bagi anak rakyat biasa lama pendidikan 3 tahun, pelajaran yang diberikan ialah, berhitung,menulid,dan membaca. Inilah yang kemudian disebut dengan nama Sekolah Desa yang baru dihapus dan dijadikan Sekolah Rakyat 6 tahun setelah Indonesia merdeka.Yang kedua Sekolah kelas satu diperuntukan bagi ank-anak pegawai pemerintah Hindia Belanda. Lama Pendidikan pada mulanya 4 tahun,dan akhirnya 7 tahun. Di sekolah itu diajarkan ilmu bumi,sejarah,ilmu hayat,menggambar dan ilmu mengukur tanah. Pelajaran diberikan dengan mengggunakan bahasa Melayu dan Belanda. Sekolah inilah yang selanjutnya bernama HIS (Hollands Inlandse School). Jenis sekolah ini pun pada umumnya baru dihapus dan dijadiakn Sekolah Rakyat (SR) 6 tahun setelah Indonesia merdeka. Van Houtz (1904-1908) memperbaiki sekolah kelas dua menjadi 3 tahun. Hingga tahun 1938 jumlah sekolah desa itu ada 1702 yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia,dengan jumlah guru 32.000 orang dan murid 1.750.000 orang.
Tahun 1914 dibuka sekolah lanjutan yang lamanya 2 tahun setelah sekolah desa (utamanya diperuntukan bagi anak-anak pandai). Pads permulaan abad ke 20 keadaan sekolah-sekolah untuk anak-anak Indonesia menurut Furnival sebagai berikut :

Sekolah Kelas Satu
Sekolah kelas Dua




Negeri
Negeri
Swasta



Jumlah
Jumlah
Jumlah



Sekolah untuk
Murid
Sekolah
Murid
Sekolah
Murid
Bangsa Indonesia (4)
208
539
88253
840
58132
Bangsa Timur Asing
-
-
-
696
13349

Sekolah-sekolah yang ada pada zaman ini adalah Holland Chinese School sekolah untuk orang Tionghoa, Europe Lagere School- sekolah Belanda, Holland Inlandse School- Sekolah Belanda Bumi Putra,Hugere Burger School-lanjutan dan ELS, Mulo setaraf dengan SMP sekarang dengan materi pelajaran hanya teori 3 tahun dan praktek 4 tahun,selanjutnya ke AMS (setaraf dengan SMU), dan AKIS ke Sekolah Tinggi seperti STOVIA (Kedokteran untuk Bumi Putra) dan ke RHS (Sekolah Hakim) Gymnasium dan Lycium untuk sekolah olahraga. Selama perang Dunia 1 (1914-1918) di Indonesia terasa sekali kekurangan tenaga Insinyur. Oleh karena itu, pada tahun 1918 di bandung didirikan Technishe Hooge School (Sekolah Teknik Tinggi) yang saat ini menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB).

2.2 Pendidikan Indonesia pada Zaman Penjajahan Jepang
Zaman penjajahan Jepang sangat singkat berada di Indonesia (7 Maret 1942-17 Agustus 1945) namun, memiliki arti penting pada perkembangan pendidikan. Hal itu tidak hanya terletak pada isi pendidikan dan pengajaran yang diberikan di sekolah-sekolah tetapi, lebih terhadap organisasi pendidikan. kegiatan pendidikan menjadi utama sebagai upaya pemenangan Jepang atas Asia Timur Raya. Oleh sebab itu, pada saat jepang masuk dalam menyumbang organisasi pendidikan menandakan  bahwa, sistem pendidikan colonial Belanda sudah berakhir.
Usaha dalam kegiatan pendidikan murid-murid dipaksa mengumpulkan batu dan pasir untuk kepentingan pertahanan. Pekarangan sekolah ditanami ubi  dan sayur-mayur untuk menambah bahan makanan. Para murid pun diwajibkan untuk menanam pohon jarak sebagai tambahan persediaan minyak bagi kepentingan perang Jepang. Setiap pagi, murid-murid di sekolah melakukan latihan gerak badan (olahraga) dan dilanjutkan dengan latihan baris berbaris, beladiri, dan latihan perang. Semangat Jepang disesuaikan kepada murid-murid dengan cara mengajarkan bahasa Jepang, nyanyian Jepang, serta upacara bendera ala Jepang dengan menghadap arah ke Istana Tokyo. Oleh sebab itu, hal ini menjadi  tradisi yang dilaksanakan murid-murid setiap pagi dengan mengeraskan suara dan mengarahkan wajah kea rah istana Tanoheika di Tokyo meneriakan perintah pendidikan yang dikeluarkan oleh Meizi Tenno. 
Pada masa penjajahan Jepang terdapat satu jenis sekolah rendah untuk sekolah lapisan masyarakat yang disebut Syoo-gekko lama belajarnya 6 tahun. Pemerintah Jepang juga mengadakan Sekolah Desa diganti dengan Sekolah Rakyat (Kokumin Gako) memiki jenjang waktu 6 tahun. Sekolah Menengah diganti dengan Tu Gakko untuk anak laki-laki dan Zyu Gakko untuk anak perempuan yang lama belajarnya 3 tahun dan MULO pun ditiadakan. Pemerintahan penjajahan Jepang juga membangun dan mendirikan sekolah kejuruan dan sekolah guru. Sekolah guru (Kyoin Yoogoi Sho) menempuh pendidikan selama 4 tahun dan sekolah guru atas (Si Han Gakko) lebih menekankan pada pelajaran sejarah, pelajaran ilmu bumi (geografi),  bahasa, adat istiadat, dan semangat jepang.

2.3 Permasalahan Pendidikan Indonesia pada Zaman Penjajahan Jepang
            Permasalahan pendidikan diawali dengan jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 14 Agustus 1945 maka, seluruh kota menjadi rusak dan sebagian negara Jepang luluh lantah. Hal tersebut menjadi tanda bahwa, pemerintahan penjajahan Jepang berakhir di Indonesia. Kejadian tersebut menjadi momentum untuk bangsa Indonesia merancang dasar negara dan teks proklamasi. Teks proklamasi dan dasar negara digunakan sebagai tanda untuk memerdekakan negara Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
            Suatu hal yang menarik saat terjadinya perlawanan dari sekutu dengan meluluh lantahkan kota Hiroshima dan Nagasaki. Hal menarik  tersebut yaitu Kaisar Hirohito megumpulkan para pemimpin Jepang dan beliau bertanya bahwa, berapakah orang guru yang masih hidup ?, Beliau bukan bertanya bahwa, berapa jenderal yang masih hidup dan berapa tentara yang meninggal. Oleh karena itu, esensi dari pertanyaan Kaisar Hirohitolah yang menjadikan Jepang dengan begitu cepat melepaskan ketertinggalan dari negara-negara sekutu lawanya.

2.4  Pendidikan Indonesia pada Zaman Pergerakan Kemerdekaan
Pada abad ke 20 timbulnya golongan masyakarat Indonesia yaitu golongan cerdik pandai yang mendapat pendidikan khas Barat, tetapi tidak mendapatkan tempat, kesempatan dari perlakuan yang sewajarnya dalam masa kolonial. Kesadaran ini mempengaruhi golongan cendikiawan muda Indonesia mulai mengenal organisasi.
Pergerakan golongan cedikiawan diawali dengan didirikannya Budi Oetomo (20 Mei 1908) yang dirinntis oleh anak-anak kaum bangsawan yang belajar di STOVIA Jakarta. Tujuan yang mula-mula ditetapkan oleh Budi Oetomo ialah memperbanyak jumlah sekolah dan memberikan pendidikan untuk pribumi untuk di kalangan yang lebih luas dengan landasan kebudayaan nasional sebagai warisan nenek moyang untuk membentuk kepribadian Indonesia.
Setelah tahun 1908 bermunculan partai-partai dan pergerakan-pergerakan yang berasaskan agama maupun nasionalisme dan social seperti                     :
a.    Serikat Islam ataupun Muhamamadiyah.
Lembaga ini sangat rajin dalam membagun sekolah, rumah sakit, dan rumah yatim piatu. Tahun 1925 Muhammadiyah telah mempunyai 29 cabang di seluruh Indonesia dengan lembaga pendidikan yang terdiri dari 8 buah HIS, dan 1 Sekolah Guru (Kweekschool), 32 Sekolah Kelas Dua, dan 14 sekolah agama yang berjumlah kurang lebih 4000 orang dengan lebih kurang 119 orang guru. Pergerakan  Muhammadiyah  menamakan  usaha-usahanya  kepada
perbaikan hidup beragama dengan amal-amal pendidikan dan sosial. Hal ini disebabkan
adanya kerusakan-kerusakan kaum muslimin antara lain dalam hal:
1.  Kerusakan dalam bidang kepercayaan („itikad)
2.  Kemunduran dalam bidang pendidikan Islam
3.  Kebekuan dalam bidang hukum fikhi
4.  Kemiskinan rakyat dan berkurangnya rasa gotong-royong
Kyai Haji Ahmad  Dahlan  sebagai pendiri Muhammadiyah memiliki cita-cita  pendidikan  dan  pengajarannya  yang berdasarkan  ajaran  agama  Islam  dan  Sunnah,  sehingga  dapat  membentuk  manusia Muslim  yang  bermoral  dari  ajaran  Al-Quran  dan  Sunnah,  dengan  pemahaman  secara luas, memiliki individualitas yang bulat dalam arti adanya keseimbangan antara segi-segi rohani dan jasmaninya dan bersikap positif terhadap persoalan masyarakatnya.

b.   Indisch Partij (Kebangsaan)
Organisasi yang didirikan pada tanggal 6 September 1912 yang dipimpin oleh tiga serangkai yaitu dr. Tjipto Mangunkusomo, Suwardi Suryaningrat (KI Hajar Dewantara) dan dr. Douwes Dekker (dr. Setiabudi). Suwardi Suryanigrat menyelesaikan pendidikan guru selama pengansingan di Negeri Belanda. Setelah beliau kembali ke Indonesia ia mencurahkan seluruh tenaga dan pikirannya untuk membangun pendidikan bangsa. Hal itu membuat Ki Hajar Dewantara mendirikan lembaga pendidikan yang berasaskan Panca Dharma (kebangsaan, kebudayaan, kemerdekaan, kemanusiaan, dan kodrat alam) yaitu National Onderwijs Institute Taman Siswa yang didiran tahun 1922 dengan jenjang pendidikannya meliputi Taman Indria (TK), Taman Muda (SD), Tainan Muda, dan Taman Dewasa (SM) dan Taman Madya (SMA), dan Taman Guru sampai Perguruan Sarjana Wiyata. (Depdikbud, 1985:268).
Dasar pendidikan  didirikannya  Taman  Siswa  pada  tahun  1922,  mempunyai  senjata ampuh  yang  terkenal  dengan  istilah  “Non-Cooperation”  dan  “self-help”  atau  Zelf-bedruipings  Systeem”. Non-Cooperation  ialah  sikap  menolak  kerja  sama  dengan pemerintah kolonial Belanda. Self-help atau Zelf-bedruipings Systeem ialah sistem bersandar kepada kemampuan diri sendiri, atau sistem  membiayai  diri  sendiri  dalam  mengemudikan  Pendidikan  Taman Siswa,  yang  menuju  kepada  pembangunan perekonomian rakyat yang berdasarkan kooperasi serta pendidikan rakyat yang berdasarkan kebangsaan.

c.    Indoneische Nationale School (INS) atau Sekolah Nasional Indonesia
Sekolah Nasional Indonesia di Kayu Tanam Sumatera Barat tahun 1926 yang didirikan oleh Moh. Syafei yang memiliki latar belakang pendidikan pekerjaan tangan (keterampilan, menggambar, dan musik) yang dicapainya ketika di Negeri Belanda. Pelaksanaan pendidikan INS berkiblat kepada John Dewey dan Karschenteiner yang lebih menekannkan kepada belajar bertanggungjawab dan kepemimpinan, keterampilan, seni dan olahraga serta berdagang.

2.5   Pendidikan Indonesia pada Zaman Kemerdekaan Tahun 1945 sampai Tahun 1967
                Pada awal kemerdekaan ini, pemerintah Republik Indonesia mengalami kesulitan memperbaiki dan melengkapi sarana serta prasarana pendidikan. Jika dilihat dari kapasitas guru, jumlahnya hanya sedikit karena, pada awal kemerdekaan banyak guru yang terpaksa mengikuti peperangan dan mengangkat senjata dengan murid mereka tergabung dalam tentara pelajar. Selain itu, gedung-gedung sekolah peninggalan Belanda dan Jepang mengalami kerusakan-kerusakan, bangungan yang hancur bahkan bangunan tersebut dibakar agar tidak digunakan musuh.
            Peninggalan-peninggalan dari berbagai zaman tersebut dengan segala pemikiran, tenaga, dan usaha masyarakat dan pemerintah yang sadar akan pentingnya arti pendidikan di Zaman Indonesia merdeka. Pertama yang dilakukan secara perlahan dengan melakukan pembangungan pendidikan kembali sebagai cita-cita bangsa. Dalam waktu yang relatif singkat bangsa Indonesia sudah mampu membangun sekolah rakyat lebih dari satu juta dan puluhan ribu SMP, SMA, SMEP, SGB, SGA, ST, STM, SPMA, SKP, SGKP, Madrasah, Tsanawiyah, serta Sekolah-sekolah Luar Biasa yang dibangun pemerintah dan pihak swasta. Pemerintah juga membangun dan mendirikan beberapa Universitas seperti, Universitas Gajah Mada, Universitas Indonesia, dan sebagainya.
            Indonesia banyak mendapatkan bantuan dari UNESCO karena, kebetulan markas besarnya untuk Asia Tenggara terletak di Jakarta. Hal tersebut membuat bangsa Indonesia tetap mampu membangun pendidikan dalam suasana yang serba kurang pada masa mempertahankan kemerdekaan.  Tahun 1952 merupakan awal dari sejarah bangsa Indonesia dibidang pendidikan dengan munculnya UU pokok Pendidikan Nomor 12 tahun 1952 yang dirumuskan dalam Panca Wardhana. Panca Wardhana bertujuan untuk mendidik pemuda-pemuda paripurna atau patriot komplet, seimbang, cerdas, dan dapat mempergunakan tangannya. Hal ini diwujudkan dalam praktek pendidikan gaya baru untuk SR, SLP, SLA. Selain itu, Presiden menuturkan bahwa tahun 1964 Indonesia sudah harus bebas dari buta huruf.
            Rencana Pembangunan Semesta taraf I di bidang mental yang disetujui oleh MPRS telah menetapkan bahwa, pada tahun 1970 jumlah mahasiswa Indonesia sedikitnya 1% dari jumlah penduduk. SR sampai SLA harus dilipatgandakan. Hal ini juga membuat jumlah bangunan dan guru harus diperbanyak dengan anggaran pendidikan juga harus dinaikkan tiap tahun.
            Tahun 1950 mulai didirikan kursus B-I, B-II, dan PGSLP untuk menyiapkan guru-guru sekolah lanjutan. Upaya-upaya untuk meningkatkan mutu dan jumlah guru terus dilaksanakan dengan didirikannya Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) berdasarkan Kepmen P dan K nomor 382/Kab/1954. Dengan demikian terdapat dua lembaga yang menghasilkan tenaga guru yaitu kursus B-I dan B-II disatu pihak dan pihak lain memihak pada PTPG.
            Pada tahun 1957 agar tidak terjadi dualisme pengadaan guru, lembaga-lembaga yang menyiapkan tenaga kependidikan diintegrasikan ke dalam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan pada Universitas terdekat.
            Pada kongres PGRI di Jakarta tahun 1962, Presiden Soekarno berjanji bahwa, bidang pendidikan akan mendapatkan perhatian lebih besar dari sebelumnya. Pendidikan merupakan New Emerging Force yaitu investasi pada bidang mental yang akan terlihat hasilnya beberapa tahun kemudian. Hal ini terjadi setelah Irian Barat masuk ke Wilayah Indonesia keamanan mulai terjamin dari Sabang sampai Merauke dan dari Sangihe sampai Timor.
            Tahun 1963 dimulai dengan masa baru untuk dunia pendidikan Indonesia sesuai PP 1/1063 memuat keputusan tentang pendidikan guru dengan SK Presiden nomor I tahun 1963 bahwa, FKIP dan IGP digabungkan menjadi IKIP. (Pedoman Akademik UNJ Tahun 2000, hal 1)

2.6  Permasalahan Pendidikan Indonesia pada Zaman Kemerdekaan  sampai  Tahun 1967
Para penyelenggara pemerintahan negara dari awal kemerdekaan sampai pada tahun 60-an mulai dilanda dengan krisis politik sehingga berdampak ke krisis ekonomi. Saat itu, Indonesia selesai menuntaskan pergolakan dalam negeri seperti pemberontakan Daud Bereuh di Aceh, DI-TII, dan Permesta. Presiden Soekarno memaksa kehendaknya untuk menyatukan paham nasionalisme, agama, dan komunisme yang tidak sesuai dasar pancasila. Oleh karena itu, tahun 1965 terjadi perpecahan dan pemberontakan Gerakan 30 September atau Partai Komunis Indonesia.
            Pemberontakan G 30S/PKI membawa pengaruh dan dampak terhadap system kenegaraan. Namun tidak hanya itu, hal itu juga berdampak pada system pendidikan nasional yang susah dibangun oleh pemerintah. Pendidikan yang dilantarkan dan ide-ide komunis dimasukkan lewat pendidikan. Setelah selesai masa pemberontakan PKI, tokoh-tokohnya ditangkap dan dipenjara. Ternyata para guru ikut andil bahu membahu membantu menangkap para tokoh PKI sehingga, banyak guru pun yang terpaksa ditahan dalam dimasukkan kedalam kelompok tapol. Oleh sebab itu, Persediaan jumlah guru menjadi berkurang.
            Upaya pemerintah untuk mengadakan kembali penambahan dan peningkatan guru-guru dari tingkat SD sampai SLA atau madrasah, bahkan dosen di perguruan tinggi.  Lulusan SR direkrut menjadi guru SR walaupun, pada akhirnya harus disetarakan melalui SGB. Hal itu diterapkan juga  pada lulusan SLP menjadi guru SLP setelah disetarakan melalui SGA. Selain itu, Indonesia menyatukan berbagai gerakan kepanduan sehingga, pada tanggal 14 Agustus 1964 Presiden menetapkan gerakan kepanduan menjadi gerakan Praja Muda Karana. Gerakan ini tidak berlandaskan politik tetapi bertujuan untuk menyediakan kader bangsa yang siap membangun bangsa dengan jiwa takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, jujur, sukarela, senang mengabdi, dan menolong sesama.  

2.7 Permasalahn Pendidikan Indonesia pada Zaman Orde Baru
            Setelah Soeharto dilantik menjadi  Presiaden RI ke dua, ia bersama kabinetnya menyusun rencana Pembangunan Jangka Panjang (PJP) yang dibagi dalam Rencana pembangunan Lima Tahunan (Repelita), dengan pola operasionalnya yang dijabarkan dalam Trilogi Pembangunan Nasional, yaitu :
 (1) pemerataan pembangunan
(2) pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
 (3) stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
            Dibidang pembanguna pendidikan, karena pemerintahan Soeharto menganut pola bottom up plaining, maka dalam perencanaan pendidikan dapat dikategorikan sebagai perencanaan berdimensi tunggal, padi bersifat mikro, dengan harapan makin kebawah makin diterjemahkan, sehingga tiba disekolah sudah menjadi kebijakan mikro. Perencanaan ini disebut berdimensi tunggal, karena perencanaan pendirian sekolah, pengangkatan guru, penyedian buku, dan sebagainya, semata-mata didasarkan kepada jumlah penduduk usia sekoah yang dilayani.
Sejak awal pemerintahan orde baru Indonesia mengembangkan dua system pendidikan, yaitu pendidikan umum dan keagamaan. Dualisme system pendidikan ini sebenarnya adalah produk darimasa kolonialisame Belanda. Sistem pendidikan ini pula yang melahirkan dua dasar politik utama, yaitu kekuatan Islam dan nasionalisme. Pada perkembangannya pemerintahan Indonesia beruaha menyatukan dalam satu ideologi pancasila (kompas, 22 September 2001).
            Menyimak dualisme pendidikan ini pada jalur pendidikan umum dikenal dengan jenjang pendidikan TK, SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi atau Universitas, dipihak lain dikenal pula jalur pendidikan kejuruan seperti STM, SMEA, SPG, serta sekolah kejuruan lainnya. Sedangkan pendidikan yang berlandaskan keagamaan (Islam) dikembangkan dalam bentuk Madarasah (MI, MTs, dan MA), untuk menyiapkan tenaga kependidikannya diselenggarakan Pendidikan Guru Agama (PGA). Namun yang terjadi pada masa orde baru kenyataannya Madrasah kurang mendapat perhatian dibandingkan jalur pendidikan umum dan kejuruan. Sebenarnya madrasah pada awalnya adalah pendidikan nonformal yang dikelola oleh masyarakat sendiri, yang berupa pesantren, kondisi ini sejak zaman orde lama diformalisasikan akibatnya otoritas masyarakat terutama para Kyai menjadi berkurang.
            Untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah bagi anak-anak usia SD, pada tahun 1973 Presiden mengeluarkan Kepres Nomor 10 tahun 1973, yaitu pengadaan SD/SDLB Inpres serta pengangkatan guru SD Inpres. Perluasan SD ini dilakukan karena pada saat itu Indonesia mendapat “harta karun” dari minyak bumi. Jumlah gedung SD yang didirikan pada waktu itu tidak kurang dari 15 juta, hal ini membawa dampak pada semakin banyaknya lulusan SD , dengan demikian hal tersebut memberi dampak pula pada semakin banyaknya lulusan SLTP dan SLTA, serta membawa konsekuensi untuk menambah jumlah gedung dan guru baik SLTP maupun SLTA.
            Hal ini pun berdampak pada system pengadaan guru, yang semula guru SLTP adalah lulusan PGSLP ditingkatkan menjadi PGSMPT, kemudian berlanjut ke program D2 yang diselenggarakan oleh IKIP/FKIP. Demikian juga untuk guru SLTA, yang semula lulusan PGSLA ditingkatkan menjadi D3 bahkan ke S1. Efek samping dari pengadaan guru kolosal ini adalah jumlah guru yang semakin meningkat, akibatnya menjadi jabatan padat karya sehingga gajinya pun tidak pernah tinggi dibandingkan guru pada awal tahun 60-an, maka dapat disimpulkan guru pada tahun 70-an tingkat kesejahteraannya relative rendah (Kompas, 21 Desember 2001, hal 9).
            Disisi lain untuk mengatasi ketertinggalan dibidang pendidikan adalah mengatasi buta baca dan tulis yang masih dialami sebagian besar masyarakat, melalui jalur pendidikan luar sekolah yang lebih dikenal dengan program kelompok belajar Paket A. Pada tahun 1984 Presiden mencanangkan program wajib beajar 6 tahun, dengan harapan yaitu bangsa Indonesia hingga akhir tahun 80-an sudah berpendidikan SD 6 tahun. Selanjutnya dalam PJP I (1969-1994) diharapkan tercapai lulusan pendidikan dasar 6 tahun (Pongtuluran, 1996:5)
            Tahun 1989 dunia pendidikan Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 2 tahun 1989. Seperti diketahui pendidikan dasar sebelum UUSPN ini lahir berlangsung 6 tahun saja. Sementara dalam PJP II negara RI menghendaki agar semua warganya paling tidak berpendidikan dasar 9 tahun, oleh karena itu Repelita VI wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun mulai dicanangkan, tepatna pada tanggal 2 Mei 1994, Presiden mencanangkan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun (Colclough dalam Pongtulura, 1996:5).
 Program wajib belajar 9 tahun ini membawa konsekuensi tuntutan terhadap peningkatan mutu guru SD. Pada akhir tahun 1989 dan awal tahun 1990 SPG dan SGO ditutup dan penyiapan tenaga kependidikan untuk guru SD diserahkan kepada LPTK yaitu IKIP dan FKIP dengan dibukanya program D2 Pendidikan Guru Sekoah Dasar (PGSD). Demikian pula lembaga pendidikan untuk menyiapkan guru-guru SLB juga ditutup, penyelenggaraannya diserahkan kepada Jurusan atau Program Studi Pendidikan Luar Biasa (PLB) di IKIP atau FKIP kedalam jenjang S1. Lagi-lagi upaya peningkatan mutu ini tersandung pada aspek penempatan lulusan khususnya PGSD tidak semua lulusannya terangkat/tertampung. Penyebabnya antara lain karena pengelolaan pendidikan dasar (SD) tumpang tindih antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (waktu itu) dengan Departemen Dalam Negeri.
Pendidikan sebagai agen belajar dan mengajar mulai dirintis kembali pada masa orde baru. Pendidikan yang dimulai dari tingkat dasar diperuntukkan untuk anak-anak yaitu sekolah taman kanak-kanak (TK), dan sekolah dasar (SD). Setelah anak-anak ini belajar dan sudah berkembang pola piker mereka seiring pertumbuhannya maka, mereka dapat naik ketingkat berikutnya yaitu sekolah menengah umum terdiri dari sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). Adapun agen pendidikan yang setaraf dengan sekolah umum yaitu, sekolah menengah kejuruan, yang terdiri dari tingkat pertama dan menengah. Sekolah menengah kejuruan tingkat pertama terdiri dari SMEP, SKP, ST, SGB, serta KPKPKB,  dan tingkat menengah terdiri dari SMEA. SGA, SKMA, SPMA, SPM, STM, serta SPIK..
            Selanjutnya di era pemerintahan orde baru pembangunan pendidikan menengah umum dan kejuruan berharap agar menyiapkan lulusan yang siap bekerja dengan menguasai IPTEK, keterampilan dan sekaligus memiliki kemampuan adaptif dalam mengikuti perkembangan masa depan. Dengan dikelurkannya UUSPN No. 2/1989 pemerintah mulai memperkenalkan sistem pendidikan integrasi bagi bagi anak-anak luar biasa yang dianggap mampu belajar bersama-sama dengan anak biasa lainnya. Untuk ini PLB harus mulai diarahkan ke dalam sistem integrasi sebagai antonim dan segegrasi (Depdikbud,1999:19).
            Menjelang diberlakukannya pasar bebas, saat itu Presiden Soeharto sebenarnya sudah meletakan dasar-dasar ke arah itu, namun dengan masa kepemimpinan yang terlalu lama dan fungsi kontrol yang kurang dari pihak-pihak legislatif, seiring dengan mulai terpuruknya perekonomian dunia khususnya Asia, maka pada tahun 1996 – 1997 Indonesia mulai menampakan tanda-tanda krisis. Beberapa tokoh mulai berani mengkritisi kondisi pemerintahan saat itu. Sejalan dengan hal tersebut kelompok reformis menyatu dengan kalangan akademisi baik mahasiswa maupun dosen, serta faktor yang ikut lainnya.
            Aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh seluruh elemen pendidikan Indonesia serta para tokoh dari berbagai kalangan, para mahasiwa menduduki gedung MPR DPR RI. Seperti juga kerusuhan yang menghancurkan sentra-sentra ekonomi dan tertembaknya mahasiswa Tri Sakti, yang akhirnya mampu menggulingkan kepemimpinan Soeharto. Pada tanggal 20 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan untuk mundur dari jabatannya dan secara sepihak memberikan mandat kepada B. J. Habibie untuk melanjutkan kepemimpinannya.

2.8  Pendidikan Indonesia pada Zaman Era Reformasi
            Istilah era pemerintahan reformasi sesungguhnya sudah dimulai pada saat menjelang lengsernya Soeharto. Kabinet terakhir pada era Soeharto diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan, walaupun sesungguhnya kabinet tersebut belum dapat mengemban amanah reformasi, barangkali penamaan ini hanya untuk menyenangkan kelompok reformis.
            Pemerintahan reformasi yang sesungguhnya dibawah pada kabinet Habibie. Pada saat itu reformasi di bidang hukum, ekonomi dan di bidang demokrasi mulai dirintis. Sayangnya, karena Negara dalam kondisi perekonomian yang terpuruk dan terjadi krisis di wilayah Timor Timur, lagi - lagi malah pendidikan kembali terabaikan. Angka partisipasi sekolah dari SD hingga ke SMA, apalagi Perguruan Tinggi menjadi sangat rendah, karena kemampuan ekonomi masyarakat yang terpuruk, sebagai dampak dari krisis ekonomi yang menjalar ke krisis multidimensi mendorong para politisi dan pemerhati masalah pendidikan untuk melakukan reformasi di bidang pendidikan.
            Pendidikan sebagai agen belajar dan mengajar mulai dirintis kembali pada era reformasi. Pendidikan yang dimulai dari tingkat pra sekolah diperuntukkan untuk anak-anak yaitu sekolah taman kanak-kanak (TK), dan pendidika anak usia dini (PAUD). Selain itu, diadakannya pendidikan dasar sebelum masuk ke jenjang sekolah menengah yaitu sekolah dasar (SD). Setelah anak-anak ini belajar dan sudah berkembang pola pikir mereka seiring pertumbuhannya maka, mereka dapat naik ketingkat berikutnya yaitu sekolah menengah umum terdiri dari sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). Adapun agen pendidikan yang setaraf dengan sekolah umum yaitu, sekolah menengah kejuruan, yang terdiri dari tingkat pertama dan menengah. Sekolah menengah kejuruan tingkat pertama terdiri dari ST dan SKKP,  serta tingkat menengah yaitu SMK. Siswa yang sudah menghabiskan belajar pada tingkat menengah maka, siswa dituntut untuk meningkatkan pendidikan menuju perguruan tinggi yaitu berupa universitas, Institut, sekolah tinggi, akademi, diploma dan politeknik.
Tilaar (1999:22) memberikan pemikiran tentang reformasi di bidang pendidikan yaitu :       
a. Pengikisan korupsi, kolusi, nepotisme dan koncoisme.
b. Melaksanakan asas profesionisme.
c. Desentralisasi pengelolaan pendidikan da nisi kurikulum.
d. Peningkatan mutu pendidikan dasar dan penuntasan wajib belajar 9 tahun
e. Peningkatan mutu sekolah umum dan kejuruan.
f. Peningkatan mutu dan otonomi pendidikan tinggi.
g. Pengembangan pendidikan alternatif.
h. Peningkatan mutu profesi guru.
i. Pembiayaan pendidikan yang demokratis.
j. Peraturan dan perundang – undangan.
k. Pemberdayaan mahasiswa.
Kesebelas agenda tersebut dirangkum dalam tiga tahap pelaksanaan, yakni jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Bentuk – bentuk reformasi di bidang pendidikan lainnya adalah pola Bottom up, yang ternyata mboten up, harus di upayakan terealisasi, untuk menggantikan pola Top down yang selama ini digunakan. Pemikiran semacam ini melahirkan pengelolaan sekolah yang berbasiskan kepala sekolah dan masyarakat (school based arrangement), bahkan terus didorong penyelenggaraan pendidikan yang berbasiskan masyarakat (community based education).
Pada bidang pendidikan hal ini membawa implikasi dengan diberdayakannya pemerintah daerah tingkat II untuk mengelola pendidikan, baik dari segi sarana, keuangan, dan SDM. Hal ini dikembangkan dengan memberikan rangsangan dan kesempatan kepada putra – putra daerah yang memiliki potensi tinggi (local genius), seperti yang dikemukakan oleh Sri Edi Swasono dalam kuliah perdana PPS UNJ, 1 September 2001.
Pada bidang peraturan perundangan, yakni UUSPN No. 2/1989 harus diamandemen antara lain mengenai paradigma penyelenggaraan pendidikan yang ekslusif ke arah yang inklusif, pola sentralistik harus dikembangkan ke arah desentralistik ketenagaan dan pembinaannya, pengawasan serta pembiayaannya. Khusunya tentang anggaran pendidikan harus masuk dalam UU Sisdiknas (Kompas, 19 September 2001, hal:9).
Pada era kepemimpinan Habibie, terjadi sejarah baru di bidang penyelengaraan pendidikan tinggi. Pada era Soeharto dan Depdikbud dipimpin oleh Wardiman Djojonegoro, pernah mengisyaratkan agar IKIP diberikan perluasan mandate untuk mengembangkan keilmuannya. Hal ini ditafsirkan oleh para Rektor IKIP bahwa IKIP harus menjadi Universitas. Hal ini terealisir pada saat Habibie memimpin negeri ini. Pada tanggal 31 Agustus 1999 di Istana Negara, Habibie meresmikan 5 IKIP menjadi Universitas dengan Kepres No. 093/1999 tertanggal 4 Agustus 1999 (Sejarah berdirinya UNJ, 2001;1).
Era kepemimpinan Presiden BJ Habibie pun tak lama. Bulan Oktober 1999 kepemimpinan Habibie diserahkan kepada Abdurrahman Wahid. Era Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah era yang penuh ketidakpastian, berkali – kali Gus Dur melakukan pergantian kabinetnya. Di bidang pendidikan tidak terlalu banyak prestasi yang diraih, kecuali mengganti nama Departemen Pendidikan Kebudayaan (Depdikbud) menjadi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Terlepas dari kekurangan Gus Dur ada aspek lain yang dapat dipetik, yaitu pendidikan politik masyarakat utamanya cara berdemokrasi, walaupun asalnya terjadi euphoria demokrasi. Upaya pemerintah untuk mengadakan kembali penambahan dan peningkatan guru-guru dari tingkat SD sampai SLA atau madrasah, bahkan dosen di perguruan tinggi.  Lulusan SR direkrut menjadi guru SR walaupun, pada akhirnya harus disetarakan melalui SGB. Hal itu diterapkan juga  pada lulusan SLP menjadi guru SLP setelah disetarakan melalui SGA.













BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
            Perjalanan pendidikan Indonesia di zaman kolonial akan ditelusuri dari masuknya bangsa Eropa ke Asia khususnya ke Indonesia. keadaan pendidikan Asia umumnya dan Indonesia khususnya sebelum bangsa Eropa menginjakan kakinya di negara itu, dikatakan bahwa waktu orang Eropa yang mula-mula sampai di timur jauh, di daerah katulistiwa mereka dapati sejumlah sekolah dan orang yang telah mengenal baca dan tulis yang ternyata lebih banyak dari pada orang Eropa. Bangsa Portugis pada mulanya datang ke Asia khususnya Indonesia didorong oleh semangat  untuk mengembangkan agama katolik disamping berdagang dengan cara mereka membangun sekolah-sekolah. Tidak ada bedanya dengan Portugis Belanda pun berusaha menanamkan pengaruhnya dibidang ekonomi dan politik dengan jalan mendirikan sekolah. Cara mengajar di sekolah-sekolah Belanda tidak berbeda dengan cara yang dilakukan oleh para pendidik Islam yang dilaksanakan di surau-surau, hanya isi pelajarannya yang berbeda. Dasar sekolah Kompeni itu ialah Kristen Protestan.
Pada tahun 1665 jumlah murid di Maluku sebanyak 1057 orang tetapi dalam tahun 1708 di pulau Ambon saja jumlah murid sudah terdapat 3966 orang. Jadi dalam tmpo 3 tahun di daerah Maluku menjadi hampir 3 kali lipat. Selanjutnya pada tahun 1779 di pulau Timor terdapat 539 orang murid, sedangkan di Jakarta dalam tahun itu hanya ada 630 orang, dan di daerah pesisir Jawa Timur terdapat 327 murid. Rupanya di Jawa pada umumnya sekolah Kompeni kurang disukai. Landasan dalam pengembangan system pendidikan adalah atas dasar kebutuhan tenaga kerja. ). Hal ini dapat digambarkan salah satu peraturan sekolah yang dibuat pada tahun 1684 menetapkan tujuan pendidikan adalah “supaya murid-murid kelak sanggup dipekerjakan pada pemerintah gereja”.Hingga tahun 1846-1849 jumlah murid sebanyak 155.355 dengan jumlah guru 102 orang.
Pendidikan masa kolonial berdasarkan agama dihapuskan oleh Deandles dan dirubah menjadi asas adat istiadat terutama tradisi Jawa sehingga dengan cara ini dapat menarik warga pribumi untuk bersekolah walaupun hanya siasat untuk tenaga kerja bagi pemerintah Belanda. Dalam tahun 1892 ada dua macam sekolah rendah,yaitu sekolah kelas dua yang diperuntukan bagi anak rakyat biasa lama pendidikan 3 tahun, pelajaran yang diberikan ialah, berhitung,menulid,dan membaca. Inilah yang kemudian disebut dengan nama Sekolah Desa yang baru dihapus dan dijadikan Sekolah Rakyat 6 tahun setelah Indonesia merdeka.Yang kedua Sekolah kelas satu diperuntukan bagi ank-anak pegawai pemerintah Hindia Belanda. Lama Pendidikan pada mulanya 4 tahun,dan akhirnya 7 tahun. Di sekolah itu diajarkan ilmu bumi,sejarah,ilmu hayat,menggambar dan ilmu mengukur tanah. Pelajaran diberikan dengan mengggunakan bahasa Melayu dan Belanda. Sekolah inilah yang selanjutnya bernama HIS (Hollands Inlandse School) yang mulai dihaps dan dirubah menjadi Sekolah Rakyat (SR) 6 tahun setelah Indonesia merdeka. Van Houtz (1904-1908) memperbaiki sekolah kelas dua menjadi 3 tahun. Hingga tahun 1938 jumlah sekolah desa itu ada 1702 yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia,dengan jumlah guru 32.000 orang dan murid 1.750.000 orang.
Sekolah-sekolah yang ada pada zaman ini adalah Holland Chinese School sekolah untuk orang Tionghoa, Europe Lagere School- sekolah Belanda, Holland Inlandse School- Sekolah Belanda Bumi Putra,Hugere Burger School-lanjutan dan ELS, Mulo setaraf dengan SMP sekarang dengan materi pelajaran hanya teori 3 tahun dan praktek 4 tahun,selanjutnya ke AMS (setaraf dengan SMU), dan AKIS ke Sekolah Tinggi seperti STOVIA (Kedokteran untuk Bumi Putra) dan ke RHS (Sekolah Hakim) Gymnasium dan Lycium untuk sekolah olahraga. Selama perang Dunia 1 (1914-1918) di Indonesia terasa sekali kekurangan tenaga Insinyur. Oleh karena itu, pada tahun 1918 di bandung didirikan Technishe Hooge School (Sekolah Teknik Tinggi) yang saat ini menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pada masa penjajahan Jepang terdapat satu jenis sekolah rendah untuk sekolah lapisan masyarakat yang disebut Syoo-gekko lama belajarnya 6 tahun. Pemerintah Jepang juga mengadakan Sekolah Desa diganti dengan Sekolah Rakyat (Kokumin Gako) memiki jenjang waktu 6 tahun. Sekolah Menengah diganti dengan Tu Gakko untuk anak laki-laki dan Zyu Gakko untuk anak perempuan yang lama belajarnya 3 tahun dan MULO pun ditiadakan. Pemerintahan penjajahan Jepang juga membangun dan mendirikan sekolah kejuruan dan sekolah guru. Sekolah guru (Kyoin Yoogoi Sho) menempuh pendidikan selama 4 tahun dan sekolah guru atas (Si Han Gakko) lebih menekankan pada pelajaran sejarah, pelajaran ilmu bumi (geografi),  bahasa, adat istiadat, dan semangat jepang. Kegiatan belajar mengajar lebih melatih praktikal dan strategi perang atau pendidikan non akademik. Suatu hal yang menarik saat terjadinya perlawanan dari sekutu dengan meluluh lantahkan kota Hiroshima dan Nagasaki. Hal menarik  tersebut yaitu Kaisar Hirohito megumpulkan para pemimpin Jepang dan beliau bertanya bahwa, berapakah orang guru yang masih hidup ?, Beliau bukan bertanya bahwa, berapa jenderal yang masih hidup dan berapa tentara yang meninggal.
Pada abad ke 20 timbulnya golongan masyakarat Indonesia yaitu golongan cerdik pandai yang mendapat pendidikan khas Barat. Pergerakan golongan cedikiawan diawali dengan didirikannya Budi Oetomo (20 Mei 1908) yang dirinntis oleh anak-anak kaum bangsawan yang belajar di STOVIA Jakarta. Tujuan yang mula-mula ditetapkan oleh Budi Oetomo ialah memperbanyak jumlah sekolah dan memberikan pendidikan untuk pribumi untuk di kalangan yang lebih luas dengan landasan kebudayaan nasional. Pergerakan pendidikan ini merambah luas dengan berdirinya Indisce patij, serikat islam, muhammadiyah, pendirian taman siswa, dan Sekolah Nasional Indonesia.
Peninggalan-peninggalan dari berbagai zaman tersebut dengan segala pemikiran, tenaga, dan usaha masyarakat dan pemerintah yang sadar akan pentingnya arti pendidikan di Zaman Indonesia merdeka. Masuk dunia pendidikan pada zaman kemerdekaan sampai tahun 1967.  Pertama yang dilakukan secara perlahan dengan melakukan pembangungan pendidikan kembali sebagai cita-cita bangsa. Dalam waktu yang relatif singkat bangsa Indonesia sudah mampu membangun sekolah rakyat lebih dari satu juta dan puluhan ribu SMP, SMA, SMEP, SGB, SGA, ST, STM, SPMA, SKP, SGKP, Madrasah, Tsanawiyah, serta Sekolah-sekolah Luar Biasa yang dibangun pemerintah dan pihak swasta. Pemerintah juga membangun dan mendirikan beberapa Universitas seperti, Universitas Gajah Mada, Universitas Indonesia, dan sebagainya.
Pada tahun 1965 terjadi perpecahan dan pemberontakan Gerakan 30 September atau Partai Komunis Indonesia. Hal itu membuat persediaan tenaga guru berkurang karena, guru dan murid nya ikut melawan dan mencegah pemberontakan PKI sehingga ada yang gugur maupun terpenjara.
Pada masa orde baru pendidikan sebagai agen belajar dan mengajar mulai dirintis kembali pada masa orde baru. Pendidikan yang dimulai dari tingkat dasar diperuntukkan untuk anak-anak yaitu sekolah taman kanak-kanak (TK), dan sekolah dasar (SD). Setelah anak-anak ini belajar dan sudah berkembang pola piker mereka seiring pertumbuhannya maka, mereka dapat naik ketingkat berikutnya yaitu sekolah menengah umum terdiri dari sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). Adapun agen pendidikan yang setaraf dengan sekolah umum yaitu, sekolah menengah kejuruan, yang terdiri dari tingkat pertama dan menengah. Sekolah menengah kejuruan tingkat pertama terdiri dari SMEP, SKP, ST, SGB, serta KPKPKB,  dan tingkat menengah terdiri dari SMEA. SGA, SKMA, SPMA, SPM, STM, serta SPIK..
Pendidikan sebagai agen belajar dan mengajar mulai dirintis kembali pada era reformasi. Pendidikan yang dimulai dari tingkat pra sekolah diperuntukkan untuk anak-anak yaitu sekolah taman kanak-kanak (TK), dan pendidika anak usia dini (PAUD). Selain itu, diadakannya pendidikan dasar sebelum masuk ke jenjang sekolah menengah yaitu sekolah dasar (SD). Setelah anak-anak ini belajar dan sudah berkembang pola pikir mereka seiring pertumbuhannya maka, mereka dapat naik ketingkat berikutnya yaitu sekolah menengah umum terdiri dari sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). Adapun agen pendidikan yang setaraf dengan sekolah umum yaitu, sekolah menengah kejuruan, yang terdiri dari tingkat pertama dan menengah. Sekolah menengah kejuruan tingkat pertama terdiri dari ST dan SKKP,  serta tingkat menengah yaitu SMK. Siswa yang sudah menghabiskan belajar pada tingkat menengah maka, siswa dituntut untuk meningkatkan pendidikan menuju perguruan tinggi yaitu berupa universitas, Institut, sekolah tinggi, akademi, diploma dan politeknik.

3.2  Saran
1.  Sebaiknya kita sebagai masyarakat maupun makhluk pribadi harus selalu belajar dari sejarah seperti halnya Presiden Soekarno menyatakan bahwa, jangan sekali-kali tinggalkan sejarah.
2. Pemerintah lebih mempublikasikan sejarah pendidikan melalui kemendikbud dan para  sejarahwan untuk meganalisis sejarah pendidikan bagi kepentingan dalam mencerdaskan dan membangun negara Indonesia menjadi maju, makmur, dan sejahtera.






DAFTAR PUSTAKA

Meilanie, Sri Martini.2013.Pengantar Ilmu Pendidikan.Jakarta: Universitas Negeri Jakarta
      Sumartini.2006.Sejarah Pembelajaran.Buku Ajar: Makassar
      Tilaar, HAR.1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional. Indonesia Tera.

      Depdikbud.1992. Pendidikan di Indonesia dari Zaman ke Zaman.Jakarta: PN Balai Pustaka

Comments

Popular posts from this blog

Makalah pembuatan Gemblong Kuningan

Monsoons

ASMAUL HUSNA ( AL MUHYI-AL MUMIT, AL HAYYU, AL-QAYYUM, AL AHAD)